Kamis, 14 Januari 2010

Cie Swak

Tahun baru imlek hampir tiba, tak terasa sudah setahun terlewati. Semua berharap agar pada tahun mendatang akan lebih bisa memberikan kemakmuran dan kesejahteraan. Tak bisa dipungkiri bahwa kita semua pasti menginginkan suatu kehidupan yang jauh lebih baik dari hari-hari yang lalu, baik dalam segi ekonomi, kesehatan, kebahagiaan dan lain sebagainya.

Seperti biasanya, menjelang tahun baru imlek, hampir di setiap kelenteng diadakan acara Cie Swak atau tolak bala. Acara ini diadakan dengan tujuan agar bagi mereka yang pada tahun mendatang ‘diperkirakan’ memperoleh halangan dan hal-hal yang kurang baik (karena unsur-unsur ‘shio’nya tidak bersesuaian dengan unsur tahun yang akan datang/ ciong), dapat me-minimalisir dan terhindar dari halangan ataupun hal-hal yang kurang baik tersebut.  Sedangkan bagi mereka yang ‘diperkirakan’ tidak ada masalah dengan unsur tahun yang akan datang, dapat juga menggunakan momen ini untuk berjaga-jaga agar di tahun mendatang bisa memperoleh kehidupan yang lebih baik dari tahun sebelumnya.

Dalam ritual Cie Swak, antara satu kelenteng dengan kelenteng lain akan berbeda tata caranya. Demikian pula dengan ‘ugo-rampe’ (pernak-pernik perlengkapan/ sesaji) yang akan dipergunakan. Ritual Cie Swak terbagi pada dua kategori, yaitu kategori pribadi/ personal dan ketegori umum. Cie Swak pribadi/ personal biasanya diadakan atas permintaan perorangan untuk kepentingan pribadi atau keluarga, dan umumnya membutuhkan persyaratan dan ugo-rampe yang jauh lebih banyak dan lebih besar biayanya. Cie Swak pribadi biasanya diadakan pada tempat-tempat tertentu yang memang biasa menangani permintaan Cie Swak pribadi.

Berbeda dengan Cie Swak pribadi yang memang membutuhkan biaya besar, Cie Swak untuk umum biasanya memerlukan ugo-rampe yang simpel dan tidak terlalu mahal. Cie Swak untuk umum ini lebih merupakan suatu bentuk pelayanan dan pengayoman kepada para simpatisan dan umat. Kelenteng yang telah ‘banyak’ menerima dari para simpatisan dan umat, kini saatnya memberikan suatu bentuk pelayanan timbal-balik kepada para simpatisan dan umatnya. Kalau pada tahun mendatang, para simpatisan dan umat memiliki kehidupan yang lebih baik, otomatis mereka diharapkan akan bisa memberikan ‘lebih’ kepada kelentengnya (simbiose mutualisma).

Ugo-rampe tersebut biasanya dipersiapkan oleh masing-masing individu yang hendak mengikuti ritual. Namun untuk memberikan pelayanan yang ‘lebih’ kepada para simpatisan dan umat, kadang ugo-rampe tersebut sudah tersedia dalam bentuk ‘paketan’, sehingga bagi mereka yang mampu dan tidak mau repot-repot, bisa langsung membelinya (otomatis apabila diperinci, harganya akan lebih mahal daripada beli sendiri).

Cie Swak umum memang ditujukan untuk umum, sehingga diharapkan bagi mereka yang kurang mampu-pun masih tetap memiliki kesempatan untuk  bisa memperbaiki nasibnya pada tahun mendatang.  Melalui Cie Swak Umum, mereka yang tidak mampu untuk melakukan Cie Swak pribadi, tetap bisa melakukan Cie Swak secara bersama-sama. Ini adalah suatu bentuk pelayanan yang bisa diberikan oleh kelenteng sebagai ‘media penyelamat’ bagi mereka yang kurang mampu. Sebaliknya, bagi mereka yang tahun ini kurang beruntung, inilah kesempatan untuk berupaya merubah menjadi lebih beruntung di tahun mendatang. Yang menjadi aneh adalah apabila kemudian ada ritual Cie Swak umum yang seolah-olah dijadikan ajang pencarian dana, dengan memberikan persyaratan biaya pendaftaran (dihaluskan menjadi biaya administrasi) bagi para peserta Cie Swak. Memang, untuk menyelenggarakan ritual Cie Swak dibutuhkan biaya, namun hendaknya dipahami pula bahwa  ini adalah Cie Swak Umum, yang notabene diselenggarakan setiap tahun untuk umum, sehingga rencana anggaran biaya telah diperhitungkan sebelumnya. Kecuali apabila yang meminta ritual Cie Swak adalah perorangan, maka dibutuhkan biaya administrasi khusus karena kegiatan tersebut berada diluar kegiatan rutin kelenteng, ini dapat kita pahami. Atau…mungkin di jaman millenium sekarang, salah satu syarat ugo-rampe Cie Swak untuk umum selain kertas Toa-Kim, juga dibutuhkan kertas duit beneran ? Semua kembali kepada anda untuk menilainya….

Jumat, 27 Februari 2009

Perbedaan ?

Membaca forum-forum yang membahas mengenai agama Buddha, Tao, Kong Hu Cu ataupun Tridharma, saya melihat banyak yang cenderung menimbulkan perdebatan yang tidak bermanfaat, dan bahkan ada yang berujung pada permusuhan. Hanya sedikit yang memberikan opini secara bijak, selebihnya condong dengan opini ‘kecap’ (mine is always no.1). 

Tidak dapat kita pungkiri bahwa baik agama Buddha, Tao, Kong Hu Cu maupun Tridharma (Sam Kauw) yang ada ditanah air ini, sedikit banyak ada unsur tradisi yang mempengaruhi ritual keagamaannya, baik itu tradisi dari negara Tiongkok maupun tradisi dari negara India dan Thailand. Saya tidak akan menunjukkan satu persatu pengaruh unsur tradisi tersebut, namun saya hanya ingin menekankan pada aspek ajarannya. 

Dari berbagai aliran tersebut diatas, inti daripada ajaran masing-masing aliran tersebut adalah menjadikan manusia agar menjadi makhluk yang memiliki akhlak dan moralitas yang mulia. Semua mengajarkan untuk menghentikan semua perbuatan dan perilaku buruk, menganjurkan untuk melakukan kebaikan dan perbuatan yang bermanfaat, serta mendorong agar melatih pikiran dan niat yang luhur. Tidak ada satupun yang pada inti ajarannya justeru mengajarkan kebalikan dari ketiga hal tadi. Sesungguhnya semuanya bertujuan sama, hanya saja dalam pelaksanaan dan cara untuk mencapai ketiga hal tadi, masing-masing memiliki metode yang berbeda. Perbedaan ini mungkin muncul karena masing-masing ajaran dimunculkan dari kondisi jaman dan tempat yang berbeda, sesuai darimana ajaran itu berasal. Contoh berikut mungkin akan dapat membantu kita untuk berpikir dengan baik.

Keluarga A yang tinggal di Denpasar pada awal abad 20, kalau hendak ke Jakarta, mereka harus naik perahu mengarungi lautan. Keluarga B yang juga tinggal di Denpasar, namun hidup pada sekitar akhir abad 20, mereka ke Jakarta menggunakan pesawat terbang. Sedangkan keluarga C yang tingal di Surabaya, bila ke Jakarta mereka menggunakan angkutan umum jalan darat. Semua tujuannya ke Jakarta, tapi masing-masing menempuh jalannya sendiri-sendiri. Mana yang benar ? Mana yang lebih baik ? Semuanya benar dan baik, sesuai dengan kondisinya masing-masing. Kalau begitu berarti naik pesawat terbang jelas lebih cepat sampai. Benar, tetapi naik pesawat terbang jauh lebih mahal biayanya, mampukah kita untuk membeli tiketnya ? Buat yang punya duit, ini bukan masalah. Mau pakai pesawat, kapal laut atau kereta api, asalkan itu cocok dengan kondisi kita, ya oke saja. Pilihan ada ditangan kita sendiri, cocok yang mana dan pilih yang mana. Tetapi yang tidak dipilih bukan berarti harus jelek atau salah, hanya saja tidak cocok dengan pilihan kita. 

Bagaikan bunga, mawar, melati ataupun kenanga, selama bunga-bunga itu memancarkan keharuman dan wewangian, meskipun diberi nama bunga ‘tembelek’ atau bunga bangkai, keharuman akan tetap harum baunya. Mau pilih yang mana ? Semua orang punya hak untuk menentukan pilihannya. Yang senang warna merah karena merasa cocok, bukan berarti warna putih atau kuning itu jelek. Justeru karena adanya warna-warni maka timbullah suatu keindahan dan keharmonisan. Kalau hanya ada warna merah dan tiada warna-warna lain, apakah itu masih bisa disebut warna merah ? 

• Baik Buddha muncul ataupun tidak muncul dimuka bumi ini, Dhamma akan tetap ada.
• Tao yang disebut sebagai Tao, bukan lagi Tao.
• Empat samudera dan lima benua, semua adalah saudara.



Selasa, 17 Februari 2009

Shejid Lak Kwa Ya

Cia Gwee Jie Jie 2560 (16 Februari 2009) merupakan hari ulang tahun (shejid) dari YM. Tek Hay Cin Jin atau yang biasa disebut Lak Kwa Ya, menurut tradisi Kelenteng Po An Thian Pekalongan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, upacara shejid kali ini juga berlangsung amat-sangat sederhana, karena tidak ada upacara sembahyang bersama. Umat yang hadir juga hanya beberapa gelintir dan dijamu dengan makan mie. Acara ‘ciuk punji’ (pinjam modal dari kongco agar dagangan tambah maju) juga tidak banyak peminatnya, mungkin karena sebagian besar sudah pada mapan dagangannya.

Bila kita telaah, sebenarnya kongco Tek Hay Cin Jin merupakan dewa ‘tuan rumah’ /dewa utama di kelenteng Po An Thian (lihat papan nama Tek Hay Cin Jin di atas pintu masuk kiri-kanan kelenteng), dan beliau juga dipercayai oleh masyarakat Pekalongan sebagai dewa perdagangan. Tapi entah kenapa, dalam memperingati shejid kongco Tek Hay Cin Jin tidak diadakan suatu upacara khusus.

Memang tanggal shejid yang diperingati di kelenteng Po An Thian mungkin berbeda dari kelenteng lainnya, Cia Gwee Jie Jie hanya terpaut seminggu dari segala aktifitas besar Imlek-Cap Go Meh. Segala bentuk kemegahan acara, mulai dari sembahyang Imlek, Khing Thi Kong, kirab Gia Ang dan Cap Go Meh masih sangat terasa. Akan tetapi bila mengingat bahwa kongco Tek Hay Cin Jin juga merupakan dewa ‘tuan rumah’ /dewa utama, selayaknya shejid beliau diperingati dengan segala bentuk kebesaran, layaknya memperingati shejid ‘tuan rumah’ /dewa utama. Tidak perlu dengan kirab, karena seminggu sebelumnya sudah dikirab. Cukup dengan adanya upacara sembahyang bersama dan memberikan sesaji layaknya sesaji shejid dewa ‘tuan rumah’ /dewa utama.

Kalau kita merasa bahwa keadaan di atas sudah merupakan warisan tradisi dari para pendahulu (senior) kita dan tabu untuk diubah, sekarang marilah kita ‘flashback’ pada hari shejid/ wanso dari YM. Sin Long Tay Te. Sejak dari jaman pertama kali yayasan Po An Thian didirikan (tahun 1959), shejid YM. Sin Long Tay Te adalah Jie Gwee Cap Sie (tgl.14 bulan 2 Imlek). Ketika memasuki era millenium baru (menjelang tahun 2000), konon menurut sekelompok orang –yang katanya pernah meneliti sampai ke tempat asalnya YM. Sin Long Tay Te di Tiongkok dan menurut buku Dong Shu- hari shejid yang benar adalah Sie Gwee Jie Pwee (tgl.28 bulan 4 Imlek). Dan dengan penuh keberanian pengurus Po An Thian menetapkan bahwa Shejid / Wanso YM. Sin Long Tay Te adalah Sie Gwee Jie Pwee (tgl.28 bulan 4 Imlek), dan Jie Gwee Cap Sie (tgl.14 bulan 2 Imlek) ditetapkan sebagai hari kedatangan arca kongco YM. Sin Long Tay Te ke kelenteng Po An Thian. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sesuatu yang kurang tepat dimasa lampau, bisa dibenahi agar menjadi lebih baik. Lalu mengapa tidak dengan kebiasaan yang terjadi pada shejid kongco Tek Hay Cin Jin ?

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menghakimi ataupun menggurui, hanya saja semoga dengan adanya tulisan ini, segenap pengurus kelenteng Po An Thian menjadi lebih kritis dalam menyikapi hal-hal yang mungkin dianggap sepele tetapi sebenarnya amat vital. Semoga di tahun-tahun mendatang, keadaan akan menjadi lebih baik, sehingga kharisma kelenteng Po An Thian akan lebih bersinar terang.

Semoga !

Sabtu, 14 Februari 2009

Acungan jempol untuk Toa Kok Tui

Grup kesenian musik Toa Kok Tui Po An Thian Pekalongan layak mendapatkan acungan jempol atas segala jerih-payahnya selama ini. Grup yang usianya baru beberapa tahun ini ternyata mampu menjadi suatu kelompok yang cukup solid, sehingga mengundang banyak simpati dan dukungan dari masyarakat Po An Thian.
Selain cukup solid, grup ini juga mampu mengembangkan dirinya dengan mendidik kader-kader baru yang terbilang masih cukup muda-muda. Pada saat perayaan Imlek 2560 yang baru lalu, tampak anak-anak usia SD dan para remaja yang mulai menyukai kesenian ini. Mereka ikut memukul tambur dan kecer dengan penuh semangat.
Disamping itu, walaupun usia grup ini masih cukup muda, tetapi mereka mampu menjadikan grup-nya menjadi suatu grup yang tertib organisasi dan transparan. Hal ini bisa dilihat dengan adanya laporan keuangan yang ditempel di papan pengumuman kelenteng Po An Thian, bahkan sumbangan berupa tempe dan tahu goreng-pun ikut ditampilkan dalam laporan tersebut. Suatu bukti bahwa grup ini sangat menghargai segala bentuk simpati dan dukungan, serta berusaha se-transparan mungkin dalam melaporkan kegiatannya. 
Semoga apa yang telah dilakukan oleh grup Toa Kok Tui ini, bisa menjadi contoh bagi grup/ seksi-seksi yang lainnya, termasuk juga menjadi contoh bagi segenap pengurus Po An Thian. DUA JEMPOL UNTUK TOA KOK TUI… Terus pertahankan prestasi ini !

Rabu, 11 Februari 2009

7 tahun reformasi SanMao

Tanpa terasa telah 7 tahun lamanya sejak istilah SanMao dimunculkan dilingkup kelenteng Po An Thian Pekalongan, karena adanya desakan-desakan para reformis ‘gila’ (istilah SanMao sedikit banyak berasal dari plesetan kata SeMo –yang berarti: agak gila-) , yang menuntut adanya transparansi dan pertanggung-jawaban dari era orde lama kepengurusan.
Misi SanMao boleh dikatakan telah berhasil, sehingga telah terjadi perubahan yang sangat signifikan dalam segala kiprah kepengurusan selama 7 tahun terakhir. Seperti istilah dari seorang tokoh pendidikan terkenal di negeri kita, SanMao telah berhasil dalam ‘Ing Ngarsa Sung Tulada’ dan ‘Ing Madya Mangun Karsa’ (di depan memberi tauladan, di tengah memberikan semangat). 
Tidak dapat dipungkiri bahwa SanMao telah memberikan pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan yang mampu menumbuh-kembangkan nama Po An Thian, begitu pula dengan bentuk fisik Po An Thian sendiri yang telah banyak mengalami perubahan dan rekonstruksi. Gedung serba-guna yang dulu dicita-citakan, kini telah berdiri kokoh walaupun masih belum sempurna 100% pembangunannya. Umat dan simpatisan-pun bukan hanya dari dalam kota, Po An Thian telah dikenal hampir disepanjang tanah Jawa. SanMao terus-menerus memberikan semangat kemajuan bagi para pengurus, sehingga tanpa terasa telah satu periode kepengurusan dilalui. 
Menginjak tahun ke 8, kini saatnya para SanMao memasuki tahapan ‘Tut Wuri Handayani’. Berdiri dibelakang dan memantau segala apa yang sudah pernah dicontohkan. Sudah saatnya mereka yang muda-muda tampil dan meneruskan perjuangan SanMao. Bila para SanMao tetap terus berdiri dibarisan paling depan, kapan kader-kader penerus akan bisa maju dan tampil di depan ? Selain daripada itu, bila tidak segera ‘Tut Wuri Handayani’, kuatirnya kita akan menjadi terlena –seperti bunyi suatu iklan meubel- kalau sudah duduk lupa berdiri.
Mungkin kader-kader yang 100% tepat memang belum ada, tapi biarkan dengan berjalannya waktu, mereka akan belajar dan mandiri. Sama seperti SanMao dulu yang dipandang sebelah mata oleh sebagian orang, tidak dipercaya bahkan dicurigai sebagai kaum pengacau. Namun dengan berjalannya waktu, segala kecurigaan dan ketidak-percayaan itu akhirnya pudar.
Masih banyak hal yang harus diperhatikan oleh SanMao demi kemajuan bersama. Bila tidak berada di belakang, maka ada kemungkinan hal-hal yang harusnya diprioritaskan akhirnya akan menjadi luput, terlupakan, dan malah merugikan kemajuan yang telah dicapai. Marilah kita sekarang menjadi SanMao yang ‘Tut Wuri Handayani’, demi kemajuan yang telah kita capai…